Minggu, 01 Juli 2012

Awas, Wabah Kegemukan!


Pandemi Baru
Masalah kegemukan sudah mencapai tahap serius. "Ini sebuah pandemi baru", kata Prof. DR. Dr. Askandar Tjokroprawiro, MD, Ph.D.
Di negara mana pun, kegemukan menyebabkan munculnya beragam penyakit. Tahun 1998, WHO menyatakan obesitas dalam tingkat epidemik. Kalau dibiarkan akan timbul penyakit bom waktu.

"Bakal terjadi global obesity. Sekarang inilah awal dari globesity atau global obesity ini, kalau intervensi tidak berhasil", tutur Prof. Askandar. Di dunia, lebih dari 1 miliar orang dewasa menderita kegemukan (overweight). Sekurangnya 300 juta di antaranya gemuk dengan indeks massa tubuh lebih dari 30 kg/m2. Kriteria Indonesia untuk gemuk (obese) lebih atau sama dengan 25 kg/m2.
Fakta ini menjadi risiko besar bagi munculnya beragam penyakit kronis seperti diabetes melitus tipe-2, hipertensi, penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), stroke, dan beberapa tipe kanker.
"Penyebab utama dari semua ini adalah perubahan gaya hidup yang tidak sehat, terutama berlebihnya konsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan gula, sedangkan aktivitas fisik sangat kurang", ujar kepala Pusat Diabetes dan Nutrisi RSU Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, Surabaya ini, dalam simposium nasional bertajuk The 6th National Obesity Symposium; Obesity and Related Disorders di Bali.
Simposium yang diadakan oleh Himpunan Studi Obesitas Indonesia (Hisobi) ini memaparkan beberapa pandangan dan temuan baru. Prof. DR.Dr. Sidartawan Soegondo, Sp.PD-KEMD, FACE, yang menjadi salah satu pembicara utama, mengungkapkan bahwa yang menjadi masalah sekarang bukanlah persoalan indeks massa tubuh.
"Ukuran paling nyata yang bisa kita lihat bahwa dalam tubuh kita ada masalah adalah lingkar pinggang", kata ketua Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) ini. Makin besar lingkar pinggang, makin tidak sehat kita. Pada orang yang kegemukan, lemak ada di mana-mana. Lemak di pantat tidak menjadi masalah karena akan terpakai untuk energi dan hormon tambahan estrogen, juga di tangan, kaki, leher, atau paha. "Lemak yang berbahaya justru yang ada di perut", ujarnya. Tepatnya lemak yang ada pada perut bagian dalam atau intraabdominal.
Pada praktik sedot lemak, yang diambil adalah lemak yang berada di bawah kulit. "Ini tidak berbahaya", kata Prof. Sidartawan. Jadi, sedot lemak lebih mengarah ke upaya memperindah, bukan mempersehat.
Lepaskan Lemak Bebas
Berbahayanya lemak di bagian dalam perut, tambah Prof. Askandar, karena mobile, melepaskan beragam hormon dan asam lemak bebas. Minimal sekitar 60 hormon yang bisa dilepas sel lemak perut ini.
Dari sekian banyak hormon ini, hanya satu yang dianggap baik. Yang lain berbahaya karena bisa menyebabkan naiknya tekanan darah, resistensi insulin, naiknya kadar kortisol dan gula darah melebihi batas normal, meradangnya pembuluh darah, dan banyak lagi. Semua ini pada akhirnya akan memunculkan penyakit serius seperti serangan jantung, stroke, diabetes, hipertensi, dan sebagainya.
Lemak di bagian lain bisa langsung digunakan untuk tenaga dan tidak bisa melepas hormon ke hati. Mereka harus berputar-putar dahulu melampaui organ-organ lain sebelum sampai ke hati.
"Lemak dalam perut berbahaya karena hormon-hormon dan asam lemak bebasnya bisa langsung masuk ke lever dan menimbulkan banyak masalah", sebut Prof. Sidartawan.
Banyak Penyakit Muncul Bersamaan
Kalau dahulu risiko kegemukan hanya menyangkut persoalan metabolik, sekarang sudah mengajak jantung ikut menjadi korbannya. Risiko yang muncul juga cukup banyak dan terjadi bersamaan, tak hanya naiknya gula darah, tekanan darah, dan kolesterol 'LDL' jahat.
"Sekarang sudah menyebabkan menurunnya kolesterol 'HDL' baik, menaikkan kadar trigliserida, resistensi insulin (ketidakmampuan tubuh merespon dan menggunakan insulin secara semestinya), dan peradangan pada pembuluh darah", paparnya. Muncullah istilah sindroma kardiometabolik (Cardiometabolic risk-CMR).
Karena itu, buat pria dan wanita, jangan sampai lingkar pinggang Anda melebihi atau sama dengan 90 sentimeter. Mengatur pola hidup menjadi kunci mengatasi obesitas. Bila tidak berhasil, sekarang sudah tersedia obatnya. Namun, kita mesti sabar menanti karena baru akan ada di pasaran beberapa bulan lagi.
Sumber : Gayahidupsehatonline.com